FENOMENA BANJIR DI WILAYAH PERKOTAAN (Studi kasus banjir DKI Jakarta 2002
*) Makalah Nara Sumber Penyusunan Perda Sumur Resapan
Provindi DKI Jakarta. BPLHD Provinsi DKI Jakarta. Casablangka 16 September
2002.
**). Staf pengajar Jurusan geografi FMIPA-UI.
**). Staf pengajar Jurusan geografi FMIPA-UI.
Kota pada dasarnya merupakan desa yang berkembang, dan
dalam perkembanganya, terjadi perubahan-perubahan baik fisik maupun sosial
budaya masyarakatnya, hingga menjadikan kota lebih dinamis. Kota sering
diartikan sebagai keseluruhan unsur-unsur bangunan, jalan dan sejumlah manusia
di suatu tempat tertentu, kesatuan dari keseluruhan unsur-unsur tersebut, pada
akhirnya akan menentukan corak terhadap manusianya.
Perkembangan suatu kota secara fisik, dicirikan oleh
meningkatnya jumlah sarana dan prasarana dan infrastrukturnya yang secara
langsung maupun tidak langsung terkait dengan berubahnya penggunaan tanah.
Perubahan penggunaan tanah yang pada awalnya bersifat pedesaan, kini berubah
menjadi wilayah urban (perkotaan).
Dalam kaitannya dengan siklus hidrologi,
memperlihatkan bahwa karakteristik tanah pedesaan, mapu mengendalikan proses
sirkulasi hujan secara alamiah, karena daya dukung kemampuan tanah terhadap
resapannya; berbeda dengan penggunaan tanah di perkotaan, karena padatnya
bangunan pancang dan beton, hingga menyebabkan pengaturan air secara lamiah
relatif terganggu dan dicirikan oleh besaran laju limpasan air, bahka karena
kurang mampunya daya tampung aliran (saluran drainase dan bandan sungai),
sering menyebabkan genangan (banjir).
Kota-kota di Indonesia pada umumnya terletak pada
wilayah dataran banjir, baik di pinggir sungai maupun ditepi pantai.
Pembangunan pemukiman pada wilayah-wilayah dataran banjir, secara ekonomis
cukup memberikan rangsangan keminatan bagi penghuninya; selain hamparannya
relatif datar, tanahnya subur, dan harganya relatif terjangkau. Namun demikian
lokasi pemukiman yang cukup strategis serta secara ekonomis sering memiliki
resiko besar terhadap genangan (banjir). Hal ini mengingat bahwa pemilihan
lokasi lebih cenderung pada kantong-kantong air, atau lahan basah yang dialih
fungsikan menjadi komplek-komplek pemukiman. Oleh karena itu banjir tidak
selayaknya hanya dilihat dari sisi bencana yang terjadi, akan tetapi akan lebih
arif apabila ditinjau dari keruangan alamiahnya; bahkan akan lebih menjamin
kenyamanan lingkungan apabila dipertimbangkan dari faktor-faktor lingkungan
dalam suatu hamparan daerah aliran sungai (DAS).
Faktor-Faktor Penyebab Banjir
Banjir sebenarnya bukan merupakan suatu permasalahan
selama peristiwa tersebut tidak menimbulkan bencana bagi manusia; akan tetapi
begitu banjir telah mengancam kehidupan manusia, maka dimulailah upaya untuk
mence-gahnya. Beberapa pakar menjabarkan bahwa penyebab banjir diilustrasikan
sebagai interaksi dari berbagai faktor lingkungan alamiah (fisik) seperti curah
hujan, kondisi topografi, serta lingkungan sosial yang erat kaitannya dengan
perubahan tata guna tanah khususnya di wilayah perkotaan. Fenomena banjir yang
terjadi, pada dasarnya disebabkan oleh dua hal yaitu:
Pertama, kondisi dan peristiwa alam, yang meliputi:
(a) intensitas curah hujan yang terjadi pada bulan-bulan tertentu, hingga
mencapai lebih dari 100 mm dalam 10 menit, (b) topografi wilayah yang merupakan
dataran rendah dengan lereng relatif landai, serta bentang cekungan sebagai
kawasan tandon air, (c) secara geologi tanah-tanah tertentu termasuk golongan
tanah yang kedap air sehingga air mengalami kesulitan untuk berinfiltrasi; (d)
penyempitan alur sungai dan pendangkalan sungai akibat pengendapan
material-material yang dibawa dari hulu ikut memberi andil penyebab banjir, (e)
pada saat terjadinya pasang naik air laut terjadi hujan dan air sungai yang
menuju laut terbendung oleh pasang naik akibatnya air melimpah kedaratan.
Kedua sebagai akibat dari aktivitas manusia, yang
meliputi ; (a) perubahan penggunaan tanah dari yang semula merupakan situ,
rawa, sawah, kebun, tanah kosong, dialih fungsikan menjadi penggunaan tanah
menjadi permukiman, atau bangunan sarana-sarana lainnya; (b) penebangan liar
pada hutan di wilayah hulu sebagai daerah tangkapan air (catchment area);
hingga bukan saja berakibat terhadap terjadinya banjir akan tetapi juga
terhadap kekeringan pada musim kemarau, (c) penyempitan bantaran sungai,
sebagai akibat dari okupasi penduduk, (d) penduduk berprilaku yang kurang
memahami pentingnya pernan fungsi sungai, serta saluran drainase, dan
pembuangan limbah (sampah), (e) kurangnya teknik penyerasian bentuk-bentuk
pembanghunan saluran drainse yang erat kaitannya dengan karakteristik fisik
wilayah perkotaan.
Pendapat tentang fenomena banjir di wilayah perkotaan,
ditinjau dari sistem DAS yang dipengaruhi oleh sifat-sifat fisik dan
karakteristik curah hujannya; dan secara garis besar disebabkan oleh
pembangunan pemukiman di dataran banjir; perubahan penggunaan tanah; curah
hujan yang tinggi, dan saluran badan sungai mengecil, serta pendangkalan yang
terjadi pada badan-badan sungai.
Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan di
dataran banjir akibat luapan air sungai yang disebabkan debit aliran melebihi
kapasitasnya. Selain akibat luapan air sungai, banjir dapat terjadi akibat
hujan yang lebih karena kondisi setempat tidak lagi mampu mengalirkannya.
Tinjauan Banjir Jakarta Pebruari 2002
Banjir di Jakarta, yang terjadi pada Prebuari 2002,
nampaknya juga disebabkan kurang mampunya daya tampung badan sungai ditambah
dengan pasang surut air laut. Hujan yang jatuh pada dasarnya normal, akan
tetapi terjadi secara serentak. Luas Jakarta tercatat 65.000 ha, sedangkan
watershad keseluruhan 380.000 ha. Alih fungsi kantong-kantong air di seluruh
Jabodetabek tercatat 11,2 % atau seluas (37.360 ha). Pada kondisi hujan 100 mm
dalam 1 jam total air yang tidak tertampung (3.700.000 x 100 = 30,74 juta m3).
Padahal saat itu hujan secara terus menerus terjadi lebih dari 36 jam;
Perhitungan atas dasar 18 jam maka volume air yang tidak tertampung oleh badan
sungai (30,74 x 18 jam = 0,45 milyar m3). Kota Jakarta yang terendam tercatat
31.000 ha, dengan debit 50% mengalir maka rata-rata genangan saat itu tercatat
2,3 meter, dan semakin rendah wilayah akan semakin dalam. Kejadiaan saat itu
bertepatan pada bulan mati, hingga air laut kondah (pasang naik cepat dan turun
lambat), sehingga tidak mengherankan bila genangan hampir dua minggu.
Banjir dan Penanggulangannya
Bencana banjir selalu menimbulkan kerugian yang besar
bagi manusia, baik kerugian materi bahkan jatuhnya korban jiwa; serta
menimbukan dampak terhadap perubahan ekosistem, baik sementara maupun premanen.
Upaya untuk mengatasi banjir seperti di Jakarta, sejak tahun 1800-an, telah
dilakukan oleh kolonial Belanda. Dibangunnya pencegah atau pengendali banjir
(Flood Control), dan atau membangun kanal-kanal telah dilakukan. Upaya lainnya
juga telah diprogramkan dengan merehabitasi tanah-tanah kritis di hulu-hulu DAS
yang memiliki potensi air limpasan yang cukup besar bagi wilayah di bawahnya.
Fenomena banjir pada akhir-akhir ini juga telah
dilakukan, yaitu melalui penanganan secara komperhensif dengan tujuan untuk
mengurangi beban kerugian yang diderita oleh masyarakat, dan atau menekan atau
mengurangi besarnya kerugian (flood damage mitigation). Penanganan bencana
banjir pada sungai-sungai besar seperti di S. Mississippi di Amerika serikat,
pada awalnya juga dilakukan dengan membuat chek dam; namun demikian para pakar
masalah banjir berpendapat bahwa pendekatan tersebut cenderung “melawan alam”
dan bukan satu-satunya pemecahan untuk mengatasi masalah banjir. Pendekatan
terkini dilakukan secara konperhensif dengan menyadarkan masyarakat untuk ikut
memeliharan agar kemampuan daya tampung badan sungai tetap mampu mengendalikan
jumlah volume air yang mengalirnya.
Penanggulangan bencana banjir di Indonesia juga telah
diantisipasi berdasarkan Kepres No. 43 Tahun 1990. Dalam kepres tersebut,
sistem penanggulangan yang dilakukan berdasarkan manajemen modern yang mencakup
kegiatan pencegahan, penjinakan, penyelamatan, rehabilitasi dan rekonstruksi.
Pada prisipnya dirinci menjadi tiga tahapan yaitu: (a) sebelum terjadi bencana
meliputi kegiatan pencegahan (Prevention), penjinakan (Mitigation),
kesiap-siagaan (Preparedness), (b) selama bencana meliputi tahap darurat
(Response), konsolidasi (Consolidation), dan rehabilitasi (Rehabilitation), (c)
sesudah bencana, meliputi rekonstruksi (Reconstruksi), dan pembangunan
(Development).
Tindakan mitigasi dapat dipandang sebagai suatu upaya
struktur dengan membangun infrastruktur pengendali banjir seperti telah
disebutkan diatas. Sedangkan tindakan preventif merupakan tindakan bersifat non
struktur yang lebih menekankan pada pengelolaan lingkungan DAS sebagai bagian
integral dari perencanaan penanggulangan bencana banjir. Namun dalam pengaturan
tersebut nampaknya modal dasar keikutsertaan masyarakat sama sekali tidak
disinggung. Padahal secara fakta bahwa manusialah sebagai faktor penyebab
utamanya.
Uraian Penutup
Mencermati pengalaman menghadapi fenomena bencana alam
banjir tahun 2002, tampaknya kesiap-siagaan semua pihak hendaknya lebih
ditingkatkan. Hal tersebut mengingat bahwa prediksi datangnya musibah banjir
sering tidak dapat diduga secara pasti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar